KITA, DIRI KITA DAN CITRA DIRI KITA
Ada banyak orang yang sibuk dengan pencitraan dirinya, bagaimana caranya dirinya populer sebagai orang baik penuh prestasi. Ada banyak orang yang terus saja berbuat apa yang diyakininya baik tanpa peduli bagaimana penilaian manusia tentang dirinya. Bagi model kedua ini, yang terpenting bukanlah keterkenalan, melainkan kebenaran dn kemanfaatan hang bisa dipebuatnya dalam hidup. Kita ini masuk model yang mana?
Dalam hidup ini sering kita temukan ketidakadilan. Kebaikan kita kadang tak diapresiasi, sementara kejelekan kita langsung disebarkan sebagai aib tanpa ampun. Imam Syafi'i berkata: "Andai engkau benar dalam 99 masalah dan salah hanya dalam 1 masalah, maka orang-orang akan meninggalkan kebenaranmu dan menyembunyikannya sambil mengumumkan kesalahanmu yang hanya 1 itu."
Kutipan dawuh Imam Syafi'i itu sesungguhnya menyadarkan kita agar tidak terburu-buru menilai seseorang. Jangan hanya karena berita yang tersebar lalu kita anggap sebagai sebuah kebenaran. Bukankah media yang benar-benar netral dan obyektif itu sulit ditemukan kini? Kita semua tahu.
Dawuh Imam Syafi'i itu terus diingat dan berjalan dari generasi ke generasi. Sering juga dengan kalimat yang berbeda namun pesannya adalah sama. Di antaranya adalah ungkapan banyak tetua kita: "Seribu satu kabar tentang kebaikanmu sangat mungkin tidak semua orang percaya, sementara satu kabar tentang kejelekanmu sangat mungkin semua orang percaya."
Ungkapan di atas itu sesungguhnya juga mrngajarkan kita agar tak perlu sibuk-sibuk mengejar popularitas dengan mengiklankan kebaikan kita. Lebih dari itu, itu juga mengajarkan kita agar berhati-hati dalam berperilaku karena karena satu kabar negatif tentang kita akan mudah merobohkan citra betapapun aslinya kita tidak melakukannya.
Pembunuhan karakter atau character assasination adalah kata yang paling mewakili konteks petuah di atas. Begitu banyak orang baik-baik yang dikesankan tidak baik agar seorang yang tidak lebih baik naik posisi menjadi satu-satunya yang terbaik. Kepentingan yang paling sering menjadi dasar pembunuhan karakter ini adalah kepentingan kekuasaan dan kekayaan. Seringkali nafsu kekuasaan dan kekayaan ini mematikan nurani dan membuat hati menjadi tega untuk membunuh korban baik dalam makna yang sesungguhnya atau mana majazinya.
Dosa pembunuhan karakter seperti ini sangatlah besar, karena bukan hanya korban sendiri yang menderita melainkan pula keluarga, teman dan sanak kebarabatnya. Yang berdosa bukan hanya pelaku pokok (aktor intelektual) di balik pembunuhan karakter itu, melainkan pula semua yang ikut serta menyempurnakan pembunuhan karakter itu, seperti media, para pencerita dan para komentator yang tak memiliki hak dan otoritas ikut menyebar luaskannya.
Kalaulah ingin berbagi berita, berbagilah berita kebaikan. Kalaulah harus menyebarkan cerita, sebarkanlah cerita yang berhikmah. Kalaulah harus berkomentar, berkomentarkan dengan cara yang indah, kalaulah harus terlibat, terlibatlah dalam kebaikan, kebenaran dan keindahan. Jagalah kehormatan orang lain, maka kehormatanmu akan terjaga. Salam, AIM