Pencerah Hati

NASEHAT IMAM MALIK KEPADA IMAM SYAFII YANG DITERJEMAHKAN DAN DIJELASKAN IMAM MAWARDI (1) - 12 Juli 2019 18:14

  • Jumat, 12 Juli 2019 18:14:55
  • Ahmad Imam Mawardi

NASEHAT IMAM MALIK KEPADA IMAM SYAFII YANG DITERJEMAHKAN DAN DIJELASKAN IMAM MAWARDI (1)

Guru yang baik adalah guru yang sangat perhatian pada para muridnya. Perhatian adalah sikap lebih dari sekedar melaksanakan prosen transfer keilmuan, melainkan juga pada bimbingan dan pengawasan yang baik dengan tujuan mengantarkan sang murid pada derajat manusia yang berbudi pekerti baik nan mulia. Kini, marilah kita belajar dari sejarah para imam madzhab yang sangat terkenal dan diakui kealian dan kesopanannya. Kisah berikut afalah antara tokoh sentral madzhab Maliki dan tokoh sentral madzhab Syafi'i.

Setelah proses belajar mengajar terlaksana dengan baik, Imam Malik, sang guru, berwasiat 3 perkara kepada Imam Syafii, sang murid:

Pertama: "Engkau wajib membiasakan diri berkata 'SAYA TIDAK TAHU." Itu adalah ilmu para ulama." Mafhum mukhalafah (pemahaman dari sisi sebaliknya) adalah "jangan biasa-biasa selalu mengatakan tahu akan segala masalah." Tahunya kita seringkali adalah tahu yang subyektif, tahu yang kemungkinan menyisakan sisi yang belum kita ketahui. Tahunya kita bisa jadi juga berbeda dengan tahunya orang lain.

Saat ditanya 48 masalah, Imam Malik hanya mrnjawab 2 perkara saja. Yang lainnya dijawabnya dengan kalimat "saya tidak tahu." Beliau tidak mau untuk mengakui tidak tahu. Imam Abu Hanifah, tokoh sentral madzhab Hanafi, saat ditanya 9 perkara, beliau menjawab semuanya dengan kalimat "saya tidak tahu." Tentu saja ini bukan berarti mereka adalah orang bodoh. Mereka hati-hati sekali dalam berpendapat dalam hal yang berkaitan dengan syari'ah.

Bandingkan dengan orang-orang jaman kini yag sangat mudah memberikan fatwa walau dirinya tak mencukupi syarat untuk berfatwa. Memahami pesan syari'ah itu membutuhkan banak bidang disiplin keilmuan. Tak cukup hanya bermodalkan bisa membaca terjemahan ayat al-Qur'an dan Hadits. Memahami ayat saja membutuhkan pengetahuan bahasa Arab yang baik. Ada ilmu nahwu, sharraf, balaghah, ma'ani, bayan, mantiq dan lainnya. Ini masih tentang pemahaman bahasanya.

Apakah setiap perintah dalam al-Qur'an dan haduts itu menunjukkan hukum wajib dan larangan menunjukkan hukum haram? Nah, ini membutuhkan ushul iqh beserta setumpuk kaidahnya. Belum lagi tentang bagaimana memperlakukan beberapa dalil yang tampak bertentangan. Yang mana yang harus dimenangkan? Ini juga tidak bisa sembarangan. Butuh belajar dalam jangka waktu panjang, bukan? Jelas, google tak akan bisa menjelaskan ini dengan baik.

Wasiat pertama Imam Malik di atas secara implisit menganjurkan agar jangan mudah mengeluarkan fatwa, apalagi memang BELUM BANYAK BELAJAR DAN BELUM ALIM. Orang kalau tidak belajar di fakultas kedokteran janganlah menyuntik pasien, karena itu bukan berarti mengobati melainkan membuat lebih sakit dan bahkan membunuhnya. Lalu bagaimanakah dengan mereka yang tidak pernah mondok dan kuliah keislaman? Layakkah berfatwa atau menjawab soal-soal keislaman? Salam, AIM