Pencerah Hati

Pencerah Hati 12 Maret 2016 11:00

  • Sabtu, 12 Maret 2016 11:00:00
  • Ahmad Imam Mawardi

Orang tuanya ketika menyiram tembakau berkata pada anak ini sambil meneteskan air mata: "Semoga melaratmu saya saja yang menanggung nak, semoga hidupmu dimudahkan oleh Allah." Doa orang tua seperti ini sebenarnya tipikal saja, alias biasa dan lumrah. Hanya saja, ketika kisah ini diceritakan sendiri oleh anak miskin dan melas masa lalunya dan sukses bahagia pada masa kininya maka kisah ini memiliki getaran yang berbeda. Haru sekali.

Doa orang tua adalah modal utama kesuksesan seorang anak. Kalau kita adalah orang tua, jangan pernah lalai mendoakan anak-anak kita. Kalau kita adalah anak, jangan anggap remeh peran doa orang tua kita. Kalau kita sudah sukses, yakinilah bahwa dalam kesuksesan kita ada doa orang tua sebagai ruh kesuksesan itu sendiri. Lalu, sudahkah kita berbuat untuk orang tua kita?

Anak yang saya ceritakan di atas ternyata bernasib miskin dan apes ketika kuliah bersama saya. Baju dan celananya hanya dua stel saja, sepatunya sepatu rusak sepasang saja. Anak ini selalu tersenyum walau hidupnya pun tak punya kejelasan masa depan. Satu-satunya penguat semangatnya adalah suara orang tuanya yang terngiang selalu: "semoga cukup saya saja yang melarat, semoga engkau bahagia."

Ada seorang wara' yang menghendakinya menjadi menantunya. Semua tetangganya mencibirnya dan berkata: "kok memilihnya, apa yang dimau, dia tak kan bisa bahagia." Sang calon mertua tak bertanya pekerjaan dan penghasilannya. Bertanya hal itu seakan menjadi penghinaan ketika melihat fakta pakaian dan celananya jauh dari kata sederhana, yakni sobek-sobek. Pertanyaan mertuanya: "kamu bisa ngaji nak?" Dijawabnya dengan anggukan kecil." Lalu dinikahkanlah dia dengan puterinya yang taat kepada orang tua. Mertua relijius, mendahulukan pertimbangan agama dalam mencari menantu.

Saat ini anak itu menjadi lelaki yang diberkahi Allah. Harta lebih dari cukup, anak shalih shalihah, pekerjaan yang dimudahkan dan kehidupan yang damai bahagia. Selamat sahabatku. Tetaplah menjadi Abdul Wari seperti dulu i