Adalah biasa dalam sebagian tradisi masyarakat kita mengambil anak orang lain untuk diasuh bersama sebagai upaya "pancingan" agar dirinya cepat diberikan keturunan. Kalau ditanya tentang dalilnya, banyak juga yang merujuk pada kisah Nabi Zakariya yang merawat Siti Maryam puteri Inron itu ketika beliau belum dikaruniai keturunan. Ada banyak juga yang sukses, walau tidak semuanya. Satu hal yang harus dicatat adalah bahwa tidak punya keturunan bukanlah aib, melainkan takdir Allah yang terbaik menurut Allah.
Ada sepasang suami isteri yang mengambil anak dari panti asuhan. Usia anak itu masih enam tahun, baru menjadi yatim piatu setelah kedua orang tuanya menjadi korban tenggelamnya perahu kayu yang ditumpanginya dalam sebuah perjalanan dagang. Anak ini terpukul sekali, bersedih bahkan trauma sekali. Lambat laun anak ini mulai menemukan kebahagiaan baru dengan kebaikan suami istri yang bersedia menjadi orang tua asuhnya.
Empat tahun berlalu, hamillah sang ibu asuh itu. Keluarga itu berbahagia sekali dengan kehamilan yang dinanti-nantikan. Minggu berganti minggu mengantarkan sang ibu asuh itu pada bulan terakhir kehamilannya. Lahirlah anak kembar yang lucu-lucu. Mereka bersyukur sekali dan berbahagia sekali. Barakah mengambil anak, katanya.
Tahun berikutnya, dikembalikanlah anak asuh ini ke panti asuhan, karena di rumahnya sudah cukup ramai dengan dua anak kandungnya itu. Sang anak yatim piatu mengalami kehilangan yang kedua kalinya. Dia stress berat dan merasa dipermainkan kehidupan. Ingin sekali anak ini mati untuk menyusul kedua orang tua aslinya.
Sahabat dan saudaraku, mungkin saja secara hukum adalah dibenarkan mengembalikan anak itu ke panti asuhan. Namun dari sisi rasa dan etika sepertinya tidaklah pantas dilakukan. Hidup bukan hanya masalah hukum, melainkan juga masalah rasa dan etika. Salam, AIM@kampus greenSA_uji disertasi mahasiwa Libya