SAMPAI KAPANPUN, KEDZALIMAN ADALAH KEGELAPAN YANG MENGUNDANG SIKSA
Ruang pengadilan menjadi senyap sunyi tanpa suara saat Pak Ahmad, orang desa nan lugu itu, dinyatakan bersalah karena telah dianggap merebut tanah yang bukan haknya. Semua pengunjung pengadilan yang rata-rata adalah temab dan tetangga Pak Ahmad meneteskan air mata, karena semua tahu bahwa tanah yang disengketakan adalah benar-benar milik kakek Pak Ahmad yang diwariskan sampai ke Pak Ahmad. Sayapun terdiam dan ikut teteskan air mata mendengar kisah kasus ini dari imam mushalla yang berdiri tepat di samping tanah sengketa itu.
Pak Ahmad adalah tipikal orang desa yang sangat desa yang masih percaya pada kejujuran semua orang serta percaya bahwa semua orang itu takut kepada Allah. Beliau tak paham surat-surat tanah dan merasa tak akan ada yang mau mengambil tanahnya dengan cara bohong dan dzalim. Namun beliau sadar bahwa warisan nenek moyang harus dijaga dan dilestarikan turun temurun.
Saat hakim menentukan putusan, Pak Ahmad hanya menunduk. Sesekali melihat ke atap ruang pengadilan sambil komat-kamit seakan bicara dengan bayangannya sendiri. Orang yang menjadi lawannya melirik ke kanan dan ke kiri sambil tersenyum sinis berbalut kesombongan.
Setelah hakim memutuskan bahwa tanah itu adalah hak sang lawan dan bahwa pak Ahmad telah bersalah merebut tanah yang bukan haknya, hakim bertanya apakah Pak Ahmad menerima keputusan itu.
Pak Ahmad terdiam. Pak Ahmad meneteskan air mata. Pak Ahmad lalu berkata pelan: "Pak Hakim, saya orang bodoh. Saya orang yang tidak tahu pasal undang-undang. Saya juga tidak tahu urusan surat-surat tanah. Tapu saya tahu dan yakin betul bahwa siapa yang dzalim dan bersekongkol dalam kedzaliman pastilah akan dihukum dan diadzab Allah. Hukumlah saya kalau saya memang diyakini bersalah."
Pengunjung sidang berdiri semua. Ruangan menjadi gemuruh dengan beragam suara, mulai dari takbir, istighfar dan umpatan. Tiba-tiba, sang lawan perkara berteriak lalu pingsan bersamaan dengan masuknya seorang wanita separuh baya ke dalam ruang sidang. Mengapa? Kisah ini belum berakhir, sayapun tak kuat lanjutkan cerita karena harus hapus air mata. Salam, AIM