SYARAT RUKUN MENJADI PAHLAWAN
Saat berangkat ke kampus tadi saya mendengarkan salah satu gelombang radio yang bercerita tentang definisi pahlawan. Kata salah seorang sejarawan Indonesia yang saya suka kesederhanaan dan keberaniannya, Prof. Anhar Gonggong, "pahlawan adalah seseorang yanng bersedia menanggung derita orang lain di saat dia bisa memiliki peluang untuk bahagia sendiri." Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta adalah sarjana cerdas yang sebenarnya bisa memilih bekerja sama dengan penjajah menjadi pegawai Belanda yang enak, kaya raya tanpa berjuang. Namun keduanya memilih menderita bersama rakyat Indonesia. Mereka berdua layak menjadi pahlawan.
Singkatnya, orang-orang yang hidup nyaman sendiri dan tak mau menanggung derita orang lain tidaklah pantas menyandang gelar pahlawan, betapapun dia terkenal. Orang-orang yang memang menderita dan hidup menderita dengan orang-orang lain yang menderita juga tidak bisa diberi gelar pahlawan. Ukuran kepahlawanan adalah kesiapan diri menanggung derita orang lain dan kehendak diri memberikan manfaat pada orang lain dengan mengorbankan kenyamanannya sendiri.
Tentu tak banyak orang yang berkarakter pahlawan seperti itu. Rata-rata manusia adalah mencari yang paling mengenakkan bagi dirinya walau tak mengenakkan bagi orang lain. "Mencari pekerjaan dan penghasilan yang lebih layak" adalah alasan yang sering kita dengar. Al-kisah satu-satunya ustadz di sebuah kota di Amerika tega benar meninggalkan masjid yang dibinanya selama 5 tahun demi mendapatkan ekerjaan lebih besar gajinya di kota yang lain. Padahal, gaji yang ada kini sebenarnya sudah lebih dari cukup dan masyarakat muslim sungguh merasa kehilangan jika ditinggalnya pindah kota.Ada alasan pendukung lainnya yang dikemukakannya.
Seorang nenek yang paham definisi pahlawan mendekatinya dan berdialog dengannya: "Ustadz, jadilah pahlawan bagi kami. Jangan tinggalkan kami yang membutuhkan fatwa agama darimu." Ustadz itu menjawab: "Nenek, yakinlah akan datang penggantiku nanti sebagaimana aku datang menggantikan pendahuluku." Dengan gaya membahagiakan si ustadz melanjutkan kata: "InsyaAllah pengganti saya akan lebih baik, lebih cerdas dan lebih fokus dibandingkan saya."
Nenek menimpali satu kalimat saja dan langsung pergi: "Orang sebelummu juga menyatakan seperti itusebelum pergi, ternyata harapannya tidak benar." Si ustadz kaget dan tersinggung. Tahukah mengapa? Yang jelas, pahlawan tak ada yang berkarakter cepat tersinggung. Salam, AIM@Campus