Pencerah Hati

BELAJAR ETIKA DEBAT KEPADA ORANG-ORANG SHALIH JAMAN DAHULU - 19 Januari 2019 13:29

  • Sabtu, 19 Januari 2019 13:29:01
  • Ahmad Imam Mawardi

BELAJAR ETIKA DEBAT KEPADA ORANG-ORANG SHALIH JAMAN DAHULU

Saat ini kata "debat" menjadi kata yang paling banyak diucap atau diperbincangkan. Mulailah dicari beberapa buku pegangan yang mengajarkan bagaimana cara mengalahkan lawan debat, bagaimana cara mempermalukan lawan bicara, dan bagaimana menjadi jawara perdebatan. Maka diaturlah trik-trik menjebak yang memungkinkan lawan debat mati kutu.

Tidak ketinggalan, saya juga mencari buku rujukan bagaimana sesungguhnya cara berdebat yang islami, atau dalam bahasa bombastiknya yang populer disebut dengan debat syari'ah. Ketemulah beberapa kitab tentang adab al-ikhtilaf, adab al-munazarah, dan adab al-jidal. Senang sekali membaca buku-buku itu. Panjang sekali uraiannya, tak mungkin dipaparkan semua di tulisan pendek ini.

Berulang-ulang saya fokus membaca dawuh Imam Syafi'i yang terkenal alim, cerdas dan santun itu dalam kaitannya dengan etika debat. Beliau berkata begini:

"رأيي صوابٌ يحتمل الخطأ، ورأي خصمي خطأ يحتمل الصوابَ، وما ناظرتُ أحدًا إلا أحببتُ أن يكون الصوابُ على لسانه".

(Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan salah. Pendapat lawanku salah, tapi memiliki kemungkinan benar. SAYA TIDAK BERDEBAT DENGAN SESEORANG KECUALI SAYA INGIN KEBENARAN ITU KELUAR MELALUI LISANNYA)

Luar biasa sekali etika Imam Syafi'i ya. Tidak usah masuk ke etika-etika yang lain dulu, yang satu ini saja sudah luar biasa. Makna yang bisa dipahami dari ungkapan Imam Syafi'i itu adalah: 1. Kebenaran itu relatif, jangan mengabsolutkan kebenaran yang dipahaminya sendiri. Ada kemungkinan orang lain juga benar; 2. Berharaplah debat itu memunculkan yang benar sebagai benar dan yang salah sebagai salah. Bersenang hatilah jika kebenaran itu muncul dari lisan lawan debat kita.

Nah, dari paparan di atas saja, kita bisa menilai kelas perdebatan yang sedang marak di negeri kita saat ini. Bukan hanya kelasnya debat capres cawapres melainkan juga debat-debat lainnya di media massa dan media sosial kita. Mungkinkan gaya perdebatan yang kita miliki saat ini mengantarkan pada persatuan, keguyuban dan kerukunan berbangsa dan bernegara? Mari kita musyawarahkan, bukan memperdebatkan. Salam, AIM