BELAJAR HIDUP PADA SANG PENJUAL JAMU (10)
Kebutuhan manusia dalam hidup itu bertingkat, mulai dari kebutuhan primer yang mendesak (dalam bahasa ushul fiqh disebut dlaruriyat), kebutuhan sekunder yang tak begitu mendesak (hajiyat), dan kebutuhan pelengkap asesoris yang tidak berhubungan langsung dengan kelangsungan hidup (tahsiniyat). Normalnya, kebutuhan primerlah yang harus didahulukan untuk dipenuhi. Namun kini, demi gaya hidup banyak orang yang mendahulukan yang tersier, pelengkap yang tak begitu mendesak.
Ada keluarga yang berhutang uang kepada sang penjual jamu kita (RBS) sejumlah 17 milyar. Yang rencananya diniatkan untuk usaha, oleh sang penghutang ternyata digunakan untuk bermewah-mewahan. Karena bermewah-mewahan itu sering kali menghabiskan uang dan bukan menghasilkan uang maka hutangnya tidak terbayar. Sekian lama sang penghutang menghindar dan menjauh dari RBS, kebiasaan yang tak bagus untuk ditiru. Kalau tak mampu membayar, sampaikan dengan baik alasan dan upayanya bagaimana untuk membayarnya.
RBS tak biasa menagih hutang. Paling banternya adalah mengingatkan demi kebahagiaan dan keselamatan sang penghutang dalam hidup di dunia dan terlebih di akhirat. Sekitar akhir bulan Nopember, RBS menelpon istri sang penghutang itu, menyampaikan baik-baik: "Ibu, hutangnya yang 17 milyar dibayar ya. Tidak usah dibayar kepada saya. Cicillah perbulan 500 ribu atau 250 ribu, berikan kepada anak yatim." Bagaimana jawab wanita itu?
Wanita itu marah besar dan mengaku tidak tahu menahu tentang hutang itu dan bahkan mengaku tak merasa punya hutang. Luar biasa, bukan? Lalu menantang mubahalah kepada RBS: "Kalau saya memang berhutang semoga dalam dua minggu ini saya mati, kalau saya tidak berhutang maka semoga Bapak RBS yang mati." Sangat-sangat luar biasa beraninya, bukan?
RBS hanya istighfar dan mengingatkan: "Ibu, jangan begitu. Allah Mahatahu semuanya. Kalaulah saya harus tempuh jalur hukum, saya juga pasti menang. Istighfar ibu." Si wanita iyu tetap marah dan akhirnya telpon terputus.
Semalam RBS bercerita kepada saya bahwa ada hal ajaib minggu ini. Saya penasaran ada apa gerangan. Anak dari wanita yang marah-marah di telpon tadi yang mengingkari hutang serta mengajak taruhan nyawa itu menelpon RBS, memintakan maaf kepada RBS untuk ibunya. Dua minggu yang lalu, dalam perjalanan di jalan tol bersama sang suami, ibu itu berniat mampir di rest area untuk istirahat sejenak. Tertidur dia di dalam mobil. Sesampainya di rest area, dibangunkanlah oleh suaminya dan ternyata dia meninggal dunia. Persis dua minggu dari mubahalahnya.
Apa hikmahnya? Berhati-hatilah dengan hutang. Berhati-hatilah dengan hak orang yang ada pada kita. Sungguh semua ada hitungannya di sisi Allah. Saya bertanya kepada RBS bagaimana caranya memiliki hati yang lega dan legowo mengikhlaskan uang sebanyak 17 milyar itu? Beliau menjawab: "Nanti kalau uangnya sudah banyak boleh tanyakan itu." Hahahaa, saya tertawa. Yang punya hutang, fokus dulu ya untuk membayarnya. Semoga Allah memberikan jalan terbaik, maka berbaiklah kepada Allah dan kepada orang yang uangnya ada di kita. Salam, AIM