Pencerah Hati

BELAJAR HIDUP PADA SANG PENJUAL JAMU (11) - 19 Desember 2020 06:01

  • Sabtu, 19 Desember 2020 06:01:38
  • Ahmad Imam Mawardi

BELAJAR HIDUP PADA SANG PENJUAL JAMU (11)

Penderitaan dan kemiskinan seringkali menjadi alasan utama mengapa seseorang bergerak pada arah lain, berpindah tempat dan berganti profesi. Penderitaan dan kemiskinan, kalau begitu, seringkali menjadi cara Allah mengajarkan hakikat kehidupan kepada para hambaNya.

RBS, sang lakon dalam kisah berseri ini, adalah contoh nyata dari uraian di atas. Hidupnya berpindah-pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung, Papua, Aceh dan lainnya. Gaya hidupnya mirip dengan manusia dalam awal sejarah yang nomaden, selalu pindah tempat mencari peruntungan hidup.

Dalam usia sekitar 14 tahun, RBS menjadi tukang becak di Bojonegoro Jawa Timur. Dalam usia masih kanak-kanak seperti itu, RBS harus menghidupi dirinya dengan menyewa becak bulanan. Beliau fasih betul menyebut tempat mangkalnya jaman dahulu. RBS meminta kami untuk mengecek kebenaran kisahnya di Bojonegoro pada teman-temannya yang sampai kini masih hidup di Bojonegoro. "Nama saya jaman itu adalah SUBAKIR, nama pemberian seorang Gus yang tak tahu nama asli saya," kata RBS.

Bukan hanya orang baik-baik yang pernah naik becak Mas Subakir ini. Pelanggan "lokalisasi" dan pemabukpun pernah menggunakan jasa becak Mas Subakir ini. Saat mengantar orang mabok, terjadilah hal menarik, yakni keliling Bojonegoro karena alamat yang ditunjuk sanh pemabuk itu tidak jelas dan selalu berubah. Setelah si pemabuk mulai sadar, barulah alamatnya benar. Bukan hanya ban becak yang panas hampir meletus. Betisnya Mas Subakir pun panas hampir meletus. Kami semua tertawa mengenang kisahnya. Kisah tak selesai di sini, sang pemabuk tidak mau membayar ongkos becak. Marahkah RBS alias Mas Subakir ini? Ternyata tidak. Semua dianggap ketentuan takdir yang tak pernah salah. Ada pelajaran di sana.

Pernah lagi di suatu saat, masih di Bojonegoro di usia 14 tahun itu, becak RBS dikontrak ibu-ibu gemuk penjual tahu. Malang tak dapat ditolak, banyaknya tahu yang dinaikkan ke becak dan besarnya badan sang penjual tahu menjadikan becak tak mampu berjalan normal. Becaknya miting, jatuh lalu tengkurap dipinggir jalan menurun, tahunya hancur dan penjualnya luka-luka. Sang penjual tahu minta ganti rugi. RBS menggadaikan becaknya demi bertanggung jawab, namun akhirnya ditegur oleh sang pemilik becak. Haduh, hancur betul perasaan RBS.

Seringkali, hancurnya hati dan tiadanya orang yang mengerti dan empati menjadikan seseorang hanya pasrah dan mengeluh pada Tuhannya. Seringkali orang yang hancur hatinya menjadi lebih akrab denvan Allah, Tuhannya. Hancurnya hati kadang menjadi pelajaran terbaik dari alam untuk manusia demi lebih mengenal hakikat kehidupan.

Apakah para pembaca ada yang mengalami hancurnya hati seperti ini? Sudah selesaikan episode Bojonegoro RBS? Masih panjang. Saya cukupkan dulu sampai disini. Saya tulis kisah ini di perjalanan menuju Sumenep pagi hari ini. Salam, AIM