BELAJAR HIDUP PADA SANG PENJUAL JAMU (18)
Di pagi hari seusai sarapan pagi kakek duduk-duduk santai bersama anak cucunya. Kopi kental tanpa susu masih mengepulkan asap di cangkir kuno sang kakek. Ketika ditanya mengapa setia dengan cangkir kuno, beliau menjawab demi mengingatkan hati akan tradisi lama yang perlu dijaga lestari. Biasanya, sambil menikmati kopi di cangkir kuno itu kakek bercerita tentang masa lalu.
Beliau kini berkisah tentang dawuh gurunya yang paling ditaatinya. Gurunya pernah berkata: "Nak, ada jenis manusia yang walau kamu ambil semua yang dimilikinya di rumahnya, dia tetap kaya. Ada juga jenis manusia yang walaupun dia telah mengambil semua yang dimiliki manusia dalam kehidupan mereka, dia tetap miskin. Pulanglah, pikirkan dan jadilah jenis pertama."
Saya mengulang-ulang kalimat tadi, namun tak langsung paham kecuali kata "pulanglah." Saya tak pulang-pulang, saya pijat punggung dan kaki kakek demi mendapatkan belas kasih berupa penjelasan akan kata-kata itu. Kakek tersenyum dan munta pijatan saya agar lebih keras. Kakek lalu menjelaskan:
"Orang yang kekayaannya adalah kekayaan hati, dia tak akan pernah miskin walau semua harta bendanya diambil orang lain. Sementara orang yang kekayaannya adalah harta, sementara hatinya kosong dari tauhid, ibadah dan mengabdian, maka dia akan selalu miskin. Lihat saja ketenangan jiwa dan ketenteraman hidup para ahli tauhid dan ibadah. Hidupnya penuh senyum. Lihat saja kehidupan orang yang hanya berburu harta, tiap hari sibuk dengan ketamakan dan kerakusannya sampai lupa untuk tersenyum."
Tetingatlah saya pada dawuh RBS sang penjual jamu kita itu. Beliau sering berkata: "Nilai badan manusia memang sering ditentukan oleh busananya. Nilai hati manusia ditentukan oleh keimanannya. Kalau sudah betul-betul iman serta pasrah kepada Allah, semua kisah kehidupan dijalaninya dengan sabar dan syukur. Di sanalah tempat ketenangan dan kedamaian hidup." RBS tak pernah ambil pusing dengan orang-orang yang menipu, mencurangi, dan menelikung dirinya. Ketika saya tanya mengapa, beliau menjawab: "Karena pusingnya kita tak menghasilkan apa-apa kecuali sakit kepala dan malas berusaha " Dalam bahasa saya: "Tak ada yang membayar Anda karena Anda pusing. Bayaran tak akan naik karena pusing Anda semakin lama." Mari kita belajar bersabar dan bersyukur. Miliki kekayaan hati. Salam, AIM