BERBURU CAHAYA DALAM KEHIDUPAN
Doa itu janganlah disamakan bagai obat yang hanya digunakan ketika sakit, namun jadikan doa itu bagaikan udara yang setiap saat kita gunakan untuk bernafas. Berhentinya kita menghirup udara adalah tanda kematian akan segera tiba. Doa itu harus senantiasa kita panjatkan sebagai tanda keterhubungan kita dengan as-Shamad, Dzat Yang Menjadi Tempat Meminta.
Lupa atau enggan berdoa adalah tanda-tanda penyakit hati. Seringkali keengganan berdoa itu merupakan potret arogansi diri, perasaan bisa hidup sempurna tanpa Tuhan dalam hidupnya. Mungkin pula keengganan berdoa itu adalah karena keputusasaan yang disebabkan pola pandangnya yang sempit dan terbatas dengan menganggap kini adalah kini yang tak berkaitan dengan masa lalu dan masa depan.
Bisa jadi pula kelalaian berdoa disebabkan oleh "butanya" hati yang tak mampu melihat yang tak terlihat mata berupa hukum kekuasaan dan hukum perubahan yang merupakan bagian dari hukum alam. Begitu banyak yang melupakan al-Qadiir, Dzat Yang Maha Kuasa, hanya karena mendekat pada orang yang memiliki kekuasaan kecil sesaat, sebagaimana banyak yang melupakan ar-Razzaaq, Dzat Pemberi Rizki, hanya karena mengharapkan cipratan harta dari hamba yang kebetulan dititipi rizki.
Allah adalah Sumber Cahaya, al-Qur'an adalah cahaya, nabi dan Rasul adalah cahaya, agama adalah cahaya, ilmu adalah cahaya. Biasanya, cahaya itu dicari banyak orang ketika suasana sudah menjadi gelap. Tak heran jika kajian keagamaan seringkali lebih sepi ketimbang kajian non agama, orang yang datang ke ulama pemilik ilmu lebih sedikit dibandingkan dengan yang datang ke "pemilik" dunia.
Agama, pengajian agama, dan ahli agama serta semua yang berkaitan dengan agama menjadi laku keras ketika musibah dan ujian rata terjadi di mana-mana, ketika kegelisahan dan kegalauan hati menjadi penyakit umum masyarakat dan ketika ancaman kehidupan menyebar ke setiap sudut kehidupan. Masihkah kita menunggu gelap untuk bersama cahaya? Jangan lupakan Kajian di Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya, AIM.