MINTA IJIN BERCERAI, BAGAIMANA AKU JAWAB?
Di tengah-tengah bimbingan disertasi, ada seorang lelaki menelpon saya sambil terisak-isak menangis. Saya tidak kenal dengan orang itu. Dia cuma mengenalkan sebagai jamaah pengajian yang aaya asuh. Intinya adalah meminta ijin untuk menceraikan istrinya yang menurutnya telah melakukan pelanggaran besar berulang kali. Saya terdiam, karena kebetulan kepala saya sedang berpikir teori-iteori sosial dan hukum. Sampai kini belum saya jawab, diapun mengirimkan sms menjelaskan tentang kesalahan istrinya.
Kesalahan isterinya yang paling fatal adalah ketakterbukaan pengelolaan keuangan keluarga. Selalu saja ada pengeluaran yang tak seidzin suami. Seringkali hal ini dilakukan walau telah berkali-kali diingatkan. Sang suami jengkel dan kemudian marah tak terbendung merasa posisinya sebagai suami terhapuskan di dalam keluarga. Iya, masalah uang memang masalah rawan pertengkaran. Semua yang telah berkeluarga berhati-hatilah dan waspadalah. Ini pelajaran berharga.
Kesalahan lainnya adalah karena isterinya terlalu sering menenangga, terlalu sering keluar dengan groupnya yang tak berhubungan dengan nilai agama dan kemanusiaan. Suami dan anak tak terurus, kondisi rumahpun tak bersih dan rapi. Suatu hari, penelpon saya ini pulang ke rumahnya yang ternyata sepi. Saat isterinya ditelpon ternyata masih ada "acara" di sebuah mall. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Penelpon ini bertanya kepada saya: "Di manakah tempat yang paling utama untuk seorang ibu rumah tangga?" Saya tak menjawab karena dia sesungguhnya sudah tahu jawabannya.
Akhir kalimat saat telp: "Saya menunggu dawuh kiai. Kiai bilang cerai maka saya akan cerai." Sebelum saya tutup telpon, saya berujar bahwa yang berhak mencerai bukan saya tapi dia sebagai suami. Sayapun tak tahu pasti hakikat permasalahan. Kalau tak tahu masalah, janganlah beri fatwa. Ini pelajaran untuk saya. Katanya dia mau telpon lagi setelah acara saya selesai. Salam, AIM