Media sosial saat ini menjadi lembaga fatwa non formal bagi banyak orang yang tak punya guru. Media pencari situs semacam google, yahoo dan sejenisnya menjadi "metodologi pencarian fatwa" itu. Dengan modal dunia maya kemudian banyak orang memberikan putusan hukum untuk semua kejadian di dunia nyata. Silang pendapat dan tengkar opinipun tak terelakkan lagi, karena mereka sesungguhnya tak tumbuh berkembang dari bibit yang disemai dan dipelihara dengan baik.
Kepada mereka yang bernafsu sekali menjadi mufti, kepada mereka yang terburu-buru ingin dianggap sebagai guru, dan kepada mereka yang senantiasa pendapatnya ingin didengar banyak orang, ada baiknya merenungkan kalimat imam Malik bin Anas, salah satu tokoh panutan madzhab yang tetap populer sampai kini. Beliau berkata:
لا ينبغي لرجل أن يرى نفسه أهلاً لشيء ، حتى يسأل من هو أعلم منه، وما أفتيتُ حتى شهد لي سبعون أني أهلٌ لذلك.
(Tak pantas bagi seseorang memandang dirinya sebagai ahli -berkualifikasi- dalam suatu urusan sampai orang itu mendapat pengakuan dari orang yang lebih alim darinya. Dan saya tidak pernah memberikan fatwa sebelum ada tujuh puluh orang alim bersaksi bahwa saya memang pantas--berkualifikasi-- untuk sesuatu yang akan diberikan fatwa itu)
Nah, sudahkah kita memiliki kualifikasi untuk memberikan fatwa? Seberapa banyak ayat dan hadits hukum yang sudah kita kuasai? Bagaimanakah dengan penguasaan kita tentang pandangan-pandangan yang para ulama berbeda pendapat? Pertanyaan seperti ini sungguh menjadikan kita mempertanyakan kualitas diri kita sendiri. Semoga menjadikan diri ini semakin santun menyikapi persoalan hidup dan tak jumawa merasa satu-satunya sumber kebenaran.
Mari kita terus belajar, terus berguru, terus membaca dan terus mencari mencari ilmu. Lalu mari kita mengamalkan yang kita ketahui tanpa merasa sebagai yang paling hebat dan mari kita sampaikan apa yang kita tahu tanpa merasa sebagai yang paling benar. Salam, AIM@DoubleTreeHotel_to_AbdaPlaza