"Diamnya orang yang alim akan perbuatan tak benar yang terjadi di sekitarnya sangatlahlah mungkin ditafsirkan sebagai pembenaran atau minimum pembolehan atas perbuatan tak benar itu." Demikian salah satu kata hikmah yang diabadikan sejarah yang menghendaki aktifnya orang-arang alim dalam mengajar dan mengarahkan kebenaran. Kalau begitu, tidak selalu diam itu adalah emas sebagaimana tidak selalu berbicara itu adalah bukan emas.
Bicara kebaikan dan kebenaran dengan cara yang benar, baik dan santun adalah bagai hadiah berlian yang mahal harganya, disenangi semua orang. Bicara kebenaran dan kebaikan dengan cara yang kasar tanpa sopan santun adalah bagai hadiah roti yang disajikan di atas nampan kotor penuh najis.
Bicara hal-hal buruk yang disampaikan dengan cara yang indah bagaikan bingkisan kotoran yang dibungkus kotak dan kertas kado bagus, banyak yang tertipu untuk menyenanginya. Sementara bicara hal-hal buruk dengan arogan, congkak dan kasar adalah bagai bingkisan kotoran yang dibungkus karung kotor berbau, tak ada yang menyukai kecuali sesama pecintakotoran berbau.
Kondisi kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara, tak jarang menyuguhkan aksi dengan empat model bicara di atas. Mereka yang ingin terpilih oleh masyarakat menampilkan dirinya dengan salah satu model di atas. Bagaimana dengan masyarakat pemilih? Ada yang memilih indahnya bungkus walau isinya busuk. Ada yang lebih parah lagi, memilih yang busuk yang dibungkus dengan bungkus kotor berbau. Jarang yang cermat memilih yang benar, baik, dan indah dalam hal isi dan bungkusnya.
Saatnya semua agen perubahan bicara jujur, tampakkanlah figur yang benar, baik dan indah untuk menjadi pimpinan dan teladan, jangan promosikan figur yang tidak memenuhi tiga sifat itu, benar, baik dan indah. Damailah Indonesiaku, santunlah nusantaraku. Salam, AIM@UINSA Surabaya