Seorang ulama ditanya: "Mengapa saya masih belum pernah merasakan manisnya al-Qur'an, belum pernah merasakan manfaatnya dalam kehidupan ini?" Ulama itu serius mendengarkan pertanyaan itu dan serius pula kagum pada kejujuran sang penanya sebagaimana juga beliau ingin serius memberikan jawaban paling mudah dan jitu untuk dimengerti.
Saya berkeyakinan bahwa pembaca tulisan ini serius ingin mengikuti lanjutan kisah dialog dan jawaban sang ulama itu seserius saya mengetikkan pelan-pelan jawaban serius ulama itu. Ulama itu menjawab: "Anakku, al-Qur'an itu wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad sebagai petunjuk, rahmat sekaligus obat bagi manusia. Tempat al-Qur'an itu di hati, anakku. Kalau hatimu berisi sesuatu yang berlawanan dengan kehendak wahyu, bagaimana mungkin wahyu itu memberikan apa yang sesungguhnya kepadamu?"
Sepertinya kita harus belajar membaca, mengerti dan mengamalkan al-Qur'an sebagai wahyu, sebagai kalam Allah yang diturunkan dengan cinta untuk kebahagiaan dan kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan, di dunia dan di akhirat kelak. Kata sebagian ulama: "Bacalah al-Qur'an seakan langsung diturunkan pada dirimu, seakan Allah berbicara langsung denganmu, maka akan ada getaran lain dalam dadamu, getaran kekhusyu'an, kekaguman, keta'dziman dan getaran yang lebih dari apa yang bisa dilukiskan dengan kata."
Salah seorang guru saya berkata kepada saya saat saya tanya mengapa beliau lama terdiam dan menangis sambil membaca lirih sekali suatu ayat al-Qur'an: "Anakku, andai kamu tahu dengan pengetahuan yang bagus tentang cakupan ayat ini, turunnya ayat ini, tentang sebab turunnya dan bagaimana kondisi Rasulullah ketika menerima ayat ini, niscaya kamu akan tertegun dan terkesima, tersentuh dan terinspirasi, tercerahkan dan tersinari cahaya al-Qur'an." Beliau serius sekali, sayapun serius bahwa di hadapan beliau saya adalah seorang murid TK yang baru belajar mengeja. Salam jumpa kajian sabtu sore esok, AIM@Ponpes Kota Alif Laam Miim Surabaya