Ketika Ali bin Husain meninggal dunia, maka para keluarga dan sahabatnya memandikan jenazah beliau. Mereka melihat warna hitam legam di punggungnya. Karena penasaran, sebagian mereka bertanya kepada sebagian yang lain, mengapa ada tanda hitam legam di bagian punggung beliau itu?
Semua terdiam, namun kemudian ada yang menjawab: "Itu adalah bekas karung tepung yang dipikulnya setiap malam untuk dibagikan kepada fakir miskin di kota madinah ini." Subhanallah, alangkah mulianya Ali bin Husain. Tak banyak yang tahu bagaimana beliau setiap malam menjadi karyawan Allah. Begitu ikhlasnya beliau. Begitu istiqamahnya beliau membantu orang lain sampai-sampai rela punggungnya menghitam demi kebahagiaan orang lain.
Kulit menghitam karena di jalan Allah sungguh lebih mulia dibandingkan kulit putih mulus yang tak pernah mendekat kepada Allah. Cacat dan lumpuh karena mengabdi dalam agama Allah sungguh lebih mulia dibandingkan mereka yang tak cacat dan tak lumpuh namun tak pernah berbuat di jalan Allah. Ali bin Husain sungguh memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan di hadapan Allah kelak. Lalu, apakah yang bisa kita banggakan di hadapanNya kelak?
Saya teringat pada doa Abdullah bin Jahsy ketika akan menghadapi perang Uhud: "Ya Allah, besok akan ada perang, kirimkan kepadaku musuh yang paling kuat. Ijinkan mereka bisa memotong hidung dan telingaku. Sehingga ketika nanti Engkau bertanya kepadaku tentang yang aku lakukan, Aku akan jadikan hidung dan telingaku sebagai bukti."
Saat ini kita bukan kondisi perang fisik, namun kita berada dalam kondisi perang pemikiran dan perang nafsu. Apakah yang bisa kita jadikan bukti bahwa kita ikut berjihad dalam perang pemikiran dan perang nafsu? Jelas bahwa duduk diam dan berleha-leha di tengah kesesatan, kekerasan dan kemaksiatan adalahperilaku yang tak memiliki nilai. Salam, AIM@Talango Island