Damainya Desa
Semalam saya sempatkan mengunjungi dua pengajian yang dibina almarhum Abah saya sebelum saya menghadiri pengajian terjadwal untuk saya sendiri. Sengaja saya tidak memberi tahu kepada panitia bahwa saya akan hadir. Tujuan saya adalah menyambung silaturrahim yang dibangun orangvtua saya sekaligus ingin tahu apakah pengajian itu masih jalan dengan baik dibawah asuhan adik kandung saya sebagai penerus.
Lokasinya di perkampungan khas desa. Satu lagi di atas gunung. Mereka kaget dengan kehadiran saya karena yang mereka tahu adalah bahwa sulit sekali mendapatkan jadwal pengajian dari saya. Aslinya adalah tak sulit asal ada waktu. Pengajian itu ternyata tetap kompak berjalan, tanpa ada pengaruh kisruh politik, berita hoax ataupun lainnya. Ketika ditanya mengapa rajin mengaji, jawabannya sama: "bekal kematian." Jawaban pendek yang membungkam semua alasan yang dikemukakan mereka yang malas mengaji.
Tatapan mata mereka menunjukkan ketulusan jawaban mereka. Tak ada yang mencurigai penceramah. Yang suka mencurigai penceramah biasanya yang terlalu sering makan politik. Anggukan dan elusan dada adalah gerakan gerakan utama para jamaah desa ini. Sementara gerakan utama pengajian jamaah politik adalah geleng kepala dan cibiran bibir. Kepada para penceramah, janganlah kotori kemurnian niat mereka mengaji dengan kepentingan dan agenda politik murahan. Biarkan suara hati mereka tetap tulus dan lurus menuju tengah langit.
Ketika saya sudahi ceramah singkat saya, mereka turun masjid dan cepat-cepat pulang ke rumah. Saya kaget mengapa begitu. Rupanya mereka mengambil hasil pertanian mereka yang sudah dipanen untuk dimasukkan ke mobil saya sambil berkata: "Kami tak punya apa-apa kiai, kecuali ini." Ada yang memberi waluh (labu), madu, kacang dan sebagainya. Air mata saya menetes kagum akan ketulusan mereka. Mengajilah dengan tulus, hiduplah dengan tulus, itulah yang paling menyentuh hati. Salam, AIM@just arrived at Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya