Pencerah Hati

Pencerah Hati 11 Februari 2017 11:00

  • Sabtu, 11 Februari 2017 11:00:00
  • Ahmad Imam Mawardi

Hakikat Mulia dan Bahagia

"Anakku," bisik seorang Bapak pada anaknya di detik-detik menjelang kewafatannya, " tolong diingat baik-baik ya agar kau tak salah pilih gaya hidup, agar kau tak tertipu oleh bisikan nafsu yang membuatmu bersedih." Sang anak betul-betul memperhatikan nasehat terakhir ayahnya yang disampaikannya dengan suara sangat lirih. Agak lama sang bapak terdiam. Terlihat tetes air mata mengalir membasahi pipinya. Lalu melanjutkan nasehatnya.

"Orang itu disebut mulia bukan karena dilayani, tapi karena melayani. Orang itu bahagia bukan karena banyak mendapatkan sesuatu, tapi karena banyak memberikan sesuatu." Tangannya tiba-tiba menggenggam erat tangan anaknya, tersenyumlah sang ayah untuk yang terakhir kalinya, lalu nafasnya pun terhenti. Innaa lillaah wa innaa ilaihi raaji'uun.

Iya, kita sepakat dengan nasehat tadi. Kemuliaan, pada akhirnya, adalah ditentukan oleh sebanyak dan sebaik apa pelayanan kita kepada orang lain. Luangkan waktu untuk melayani masyarakat. Pelayanan seperti itu akan dikenang sepanjang usia dalam pujian dan doa. Kesediaan hati untuk menjadi penampung keluhan, keluasan hati untuk berbagi senang bahagia adalah dasar dari pelayanan itu.

Iya, kita setuju dengan ungkapan di atas. Orang itu bahagia bukan karena telah berhasil mendapatkan banyak hal yang diperebutkan banyak orang, melainkan yang mampu berbagi dan memberikan sesuatu yang dibutuhkan oleh banyak orang. Kumpulan harta yang kita miliki hanya menjadikan kita berhak disebut sebagai orang kaya, tapi belum tentu bisa menjadikan kita berhak menjadi bahagia.

Mulia dan bahagia sungguh erat kaitannya dengan manfaat apa yang telah kita persembahkan pada orang lain. Jadilah pribadi yang memiliki guna bagi orang lain. Jangan hidup untuk sendiri, karena kalau mati juga tak bisa jalan ke kuburan sendiri. Salam, AIM@Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim