Di perjalanan pulang dari training motivasi SMA 17 Rungkut, ada tiga orang tua-tua sekali duduk di bangku dipan kecil pinggir sungai Jagir yang terkenal dengan dam warisan Belanda itu. Sepertinya mereka adalah suami istri dan seorang tamu. Pakaiannya jauh di bawah standar sederhana. Namun ketiganya kompak tersenyum sambil mengangkat cangkir yang entah berisi teh atau kopi ke ujung bibir mereka. Terlihat bahagia sekali mereka itu.
Seperti sering diungkap, ternyata bahagia itu tidaklah mahal. Ia hanya mensyaratkan kelegaaan dada dan ke'jembar'an hati untuk menjalani hidup apa adanya, ridla atas apa yang telah menjadi ketetapan Allah. Sungguh benar nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari bahwa kalau ingin kaya dan bahagia maka qanaahlah yang dibutuhkan. Cobalah sekarang kita tersenyum dan ucapkan al-hamdulillah serta ucapkan terima kasih kepada orang yang ada di samping kita. Perhatikan perubahan suasana hati kita dan suasana hati orang di sekitar kita.
Ada seorang suami yang datang kepada saya mengeluhkan sikap isterinya yang jarang sekali bersahabat semenjak dia di-PHK dari tempat kerjanya. Saya sampaikan saran agar dia membiasakan senyum dan bersyukur, termasuk bersyukur memiliki isteri yang masih mau menjadi pendamping. "Berterimakasihlah kepada isterimu minimum setiap selesai makan." Itu saran saya.
Tiga bulan kemudian suami isteri ini senyum-senyum datang ke rumah. Isterinya berkata: "Mohon doa kiai, saya hamil lagi, barokahnya suami sering ada di rumah. Kami sudah lama mendambakan tambah anak karena si sulung sudah sekolah SMA. Tapi suami saya mungkin terlalu sibuk kerja jadi gak jadi-jadi. Setelah lama ada di rumah tidak kerja kecuali pekerjaan rumah tangga, alhamdulillah bisa menghamili. Barokahnya PHK." Suaminya bersyukur al-hamdulillah.
Keberkahan kadang datang melalui sesuatu yang awalnya kita keluhkan. Ini bukan kesimpulan agar kita mengeluh dulu biar barokah, melainkan malulah mengeluh karena bisa jadi itulah jalan bahagia. Salam AIM@persiapan k