Dulu, ketika nabi Musa bertemu dengan nabi Khidir yang oleh Allah dinyatakan sebagai orang yang mendapatkan ilmu langsung dari sisi Allah, maka nabi Musa berkata kepada nabi Khidir: "Apakah engkau mengijinkan saya untuk mengikutimu agar engkau berkenan untuk mengajarkan ilmu yang telah engkau dapatkan dari Allah? Lengkapnya kisah ini bisa dilihat di surat al-Kahfi.
Bagian kisah di atas memberikan banyak hikmah kepada kita: pertama adalah bahwa kita harus mencari guru yang memang diyakini memiliki kualifikasi yang tidak meragukan; kedua adalah bahwa berguru itu perlu niat dan perlu izin pemberitahuan kepada orang yang kepadanya kita berguru. Hal ini adalah dalam rangka terbentuk hubungan batin antara guru dan murid lebih dari hanya hubungan nasab keilmuannya saja; ketiga adalah bahwa berupaya mencari cara terbaik mendapatkan keikhlasan dan ketulusan guru dalam mengajar.
Etika belajar dan berguru sepertinya tak banyak lagi mendapatkan perhatian. Yang dipentingkan saat ini adalah si murid paham atas semua pelajaran. Keberkahan dan kemanfaatan ilmu tak banyak menjadi pembahasan. Kakek saya sebelum meninggal berpesan: "Nak, tolong anak-anakmu nanti di pondokkan di pondok yang kiainya wara' alias hati-hati dalam hukum agama dan menjauh dari perkara syubhat. InsyaAllah ilmunya barokah." itulah yang diutamakan santri generasi lama.
Sekarang, santri generasi baru ketika bertemu dengan orang alim jarang sekali ditemukan yang berkata seperti dikatakan nabi Musa ke nabi Khidir di atas. Yang banyak adalah berkata: "Kiai, boleh foto bareng kiai, buat kenang-kenangan." Kiainya manut saja sambil berfikir apakah dirinya akan segera meninggal ya kok mau dijadikan kenang-kenangan.
Sempatkanlah baca kembali adab berguru, adab santri kepada guru, cara memilih guru dan cara merawat ilmu yang didapat. InsyaAllah ilmu akan berbuah manis. Buah ilmu itu ada empat. InsyaAllah kita kaji di pengajian besok sore di pondok kita. Salam, AIM@Ponpes Kota Alif Laam Miim Surabaya