Seorang kakek berusia 73 tahun yang senantiasa tersenyum ini akhirnya meninggal dunia juga. Kewafatannya mengundang tangis haru dan tangis rindu para sahabat setianya yang selalu mendampinginya di manapun dan kapanpun si kakek itu berada. Satu orang di antara para pelayat yang memasang muka berbeda; bukan muka duka sejati melainkan muka suka yang pura-pura dibungkus suka.
Rupanya seorang yang berbeda itu adalah sahabat akrab sang kakek. Tak pernah sepanjang persahabatannya orang itu ditegur dan dimarahi oleh si kakek. Bahkan selalu saja namanya disebut lengkap dengan sanjungan dan pujian serta dirinya diberikan peran yang senantiasa menguntungkannya.
Setelah usai prosesi penguburan, anak si kakek menyerahkan sepucuk surat kepada seorang yang berbeda itu sambil berkata: "Inilah surat cinta abah saya untuk Bapak. Hanya Bapak yang dibuatkan surat di saat abah saya berjuang menikmati sakit yang dideritanya. Saya tak tahu isi surat ini. Semoga saja berupa pesan berharga." Seorang sahabat penerima surat itu penasaran dan berharap isinya adalah SK peralihan kekuasaan dan kedudukan si kakek di tengah masyarakatnya.
Dibacanya pelan-pelan satu paragraf di kertas itu: "Suara sumbangmu tentangku sejak dulu sudah aku dengar kawanku. Namun janji setiaku menghalangi hatiku untuk membenci dan menjauh darimu. Semoga engkau banyak belajar dari hidup, bahwa takdir manusia diatur TuhanNya, bukan diatur selainNya, termasuk dirimu. Belajarlah tulus, kemuliaan akan datang dengan sendirinya."
Kakek itu adalah guru jiwa. Layak untuk digugu dan ditiru. Senyumannya tetap menjadi madu yang didatangi banyak orang. Sementara sahabatnya yang iri hati tetap menjadi racun yang dijauhi banyak orang. Hukum alam tak berubah, hanya soal waktu. Salam, AIM@arrived at home