Bukan Merek Sepeda, Tapi Otot Betis
Saya awalnya tak menaruh perhatian pada video tentang dua orang lelaki yang naik sepeda pancal ini. Yang pertama adalah seorang pemuda berpenampilan keren dengan helm sporty sepeda balap yang sedang naik sepeda pancal model paling modern. Yang kedua adalah lelaki setengah tua dengan baju khas desa lengkap dengan topi sawah yang sedang naik sepeda lama yang mungkin berumur hampir seusia dengan sang pengendaranya itu. Dua-duanya menapaki jalan tanjakan. Sepertinya, mereka agak berlomba menjadi yang terdepan.
Sang pemuda tadi kelihatan ngos-ngosan kecapekan, sementara lelaki petani itu santai saja menikmati perjalanan dengan senyum. Yang terdepan ternyata si lelaki setengah tua itu yang memang terbiasa setiap hari melewati jalan itu untuk pergi keadan pulang dari sawah. Rupanya, bukan merek sepeda yang paling menentukan cepat tidaknya laju sepeda, melainkan otot betis pengendaralah yang dominan menentukan. Otot yang terlatih dan terbiasa tetaplah lebih berisi dan berenergi dibandingkan dengan otot manja.
Banyak orang yang dalam menjalani hidup mengandalkan pada kemoderenan fasilitas. Bukannya secara total salah, tetapi sesungguhnya yang paling penting adalah isi dan energi hatinya. Sebaik apapun alat dan fasilitas jika tidak dibarengi dengan kualitas hati yang baik sungguh tak akan mampu bersaing dengan mereka yang alat serta fasilitasnya biasa namun kualitas mental spiritualnya mapan. Sungguh berbahagianya jika alat dan fasilitas sangat baik dan SDA nya memiliki soft skill dan hard skill yang bagus.
Pembangunan infrastruktur di negara kita bisa dikatakan relatif berkembang, namun apakah pembangunan manusianya juga sudah semakin maju? Ukuran yang dipakai biasanya adalah HDI (human development index). Agak rumit juga menghitungnya dan memahamkannya kepada publik. Namun saya menawarkan satu saja ukuran sederhana, yaitu jumlah orang mengeluh. Semakin banyak atau semakin sedikitkah jumlah orang mengeluh di Indonesia? Sebelum berpikir