Seorang murid kelas 2 SD ini tak henti-henti mengalirkan air mata saat Pak Gurunya menghukumnya berdiri di pojok kelas sambil berkata keras: "Inilah murid bodoh, contoh anak yang orang tuanya tak pernah memperhatikan pendidikannya." Murid yang dihukum itu adalah murid puteri yang bajunya sederhana sekali, sepatunya lusuh dan tas sekolahnya pun cuma plastik bekas yang dilipat-lipat sebisanya.
Jam dua siang ternyata anak itu tak sampai rumah, padahal kelas telah bubar jam duabelas siang. Kakeknya datang ke sekolah menanyakan cucunya. Kepala sekolah merasa tak tahu, guru kelasnyapun merasa tak tahu. Diusutlah perihal anak ini. Kesimpulan akhirnya adalah mungkin kabur karena malu dimarahi si guru tadi. Tapi kemana anak ini pergi?
Semua mencari. Pasar sepertinya bukan pilihan anak kecil yang stress atau malu. Lapangan juga tak mungkin menjadi pilihan tempat menenangkan diri. Pojok tiap kelas sudah dicari, anak itupun tak diketemukan. Pojok kelas bukan tempat yang pas menyimpan malu. Semua mencari. Si kakek mengajak semuanya bersama-sama ke kompleks pemakaman, tempat terakhir yang layak diduga, menurut si kakek.
Semua bertanya: "Mengapa kuburan?" Sesampainya di pekuburan, ternyata si anak tengkuran di antara dua kuburan sambil menangis: "Ibu, bapak, temani aku. Aku bodoh tanpa ibu bapak. Bangunlah ibu, bangunlah bapaaaaak." Suara ini terdengar oleh kepala sekolah dan guru kelasnya. Sadarlah mereka bahwa anak ini adalah yatim piatu. Guru kelas itu menyesal telah melukai hatinya. Berhati-hatilah menegur dan mengkritik, karena kita sering tak paham kondisi dan nuansa hati seseorang seutuhnya. Salam, AIM@Ponpes Kota Alif Laam Miim Surabaya