Ada seorang wanita hamil tua meninggal dunia. Janin yang dikandungnya masih bergerak-gerak dalam perutnya. Maka terjadilah perdebatan di kalangan keluarga tentang bagaimana cara menghadapi masalah ini: menunggu meninggalnya janin dalam perut ibu itu mengikuti sang ibu sebelum dikuburkan, membedah perut sang ibu yang sudah menjadi janazah, ataukah langsung saja dikuburkan tanpa menunggu janin itu berhenti bergerak-gerak dengan alasan mempercepat penguburan mayyit adalah sunnah?
Masalah ini kemudian dimintakan fatwa kepada dua ulama fiqh, yaitu Syekh Asyhab dan Syekh Ibnul Qasim. Syekh Asyhab berfatwa bahwa wajib perut janazah itu dibesah dan janinnya dikeluarkan. Sementara Ibnul Qasim menyatakan bahwa mayyit itu tak boleh disakiti dan dilukai maka karenanya biarkan saja janin itu meninggal bersama ibunya.
Masyarakat memilih mengikuti pendapat Syekh Asyhab. Janin dikeluarkan, tumbuh berkembang menjadi pemuda yang shalih, kemudian menjadi seorang 'alim yang aktif mengajarkan agama dengan mengikuti pandangan-pandangan Syekh Asyhab dan meninggalkan pandangan-pandangan Syekh Ibnul Qasim. Andai masyarakat dulunya memilih pandangan Ibnul qasim, tentu lelaki alim ini tak akan pernah ada.
Syekh Asyhab menggunakan pendekatan Maqashid al-Syari'ah (tujuan syari'at) yakni dengan mempertimbangkan kemaslahatan yang paling dominan yang mungkin digapai dengan memilih pendapat-pendapat yang ada. Syari'at adalah kemaslahatan, kemaslahatan adalah Syari'at. Begitu ujar para ulama Maqashid. Ternyata bergama itu tak cukup hanya tahu, melainkan juga perlu cerdas memilih banyak pendapat.
Hampir tidak ditemukan hanya ada satu pendapat dalam setiap permasalahan hukum Islam. Selalu saja ada pandangan yang berbeda. Orang pintar adalah orang yang mampu memilih yang paling mashlahat, kemudian menyikapi orang yang berbeda pilihan dengan penuh hormat. Salam, AIM, Dosen Pascasarjana UINSA Surabaya