Pencerah Hati

Pencerah Hati 31 Januari 2016 11:00

  • Minggu, 31 Januari 2016 11:00:00
  • Ahmad Imam Mawardi

Dulu di kala saya kecil, mengaji di surau setelah maghrib adalah suatu keharusan. Para orang tua di desa kompak menjaga keistiqamahan anaknya mengaji al-Qur'an. Ketika sang anak berbelok arah di tengah jalan menuju surau atau dilaporkan selalu tak ada di surau, maka orang tuanya menangis dan meminta maaf kepada kiainya serta mohon barokah doa agar anaknya kembali rajin mengaji.

Sekarang ketika saya sudah tua begini, mengaji di surau di masjid atau surau setelah masjid adalah suatu pilihan yang sangat sering dikalahkan oleh pilihan lain yang bersentuhan dengan nilai agama. Tak ada orang tua yang gelisah ketika anaknya tak mengaji, namun ribut sekali ketika anaknya tak belajar materi sekolah. Orang tua kini yang anaknya jarang ke masjid dan mushalla itu juga datang ke gurunya, namun bukan untuk meminta maaf atau barokah doa melainkan menarik kembali iuran lampu/listrik yang telah disetorkannya.

Dulu, di saat saya kecil, membangun surau, masjid dan pondok adalah tanggung jawab bersama antara pengasuh dan para wali santri. Ada yang membawa bambu, kayu, batu bata, genting dan lainnya. Sebagian besar adalah dari wali santri dan masyarakat umum. Kiai atau pengasuh biasanya hanya bagian menyediakan konsumsi para tukang dan pekerja saja.

Sekarang, ketika saya sudah tua, ceritanya sudah berbeda. Membangun mushalla, masjid dan pondok adalah total tanggung jawab kiai atau pengasuh. Kiai atau pengasuh harus pandai melobi kanan kiri dan mencari dana serta harus tetap cakap melaksanakan tugas sebagai kiai. Betapa berat tugas kiai dan pengasuh pesantren kini, betapa manja para santri dan wali santri saat ini.

Dulu, ketika saya kecil, santri yang diajak kerja bersama oleh kiai adalah kehormatan. Kini ketika saya sudah tua, santri yang diperintah kerja bakti menganggap kerja bakti sebagai penyiksaan yang mengganggu proses belajar. Lalu, masih adakah keberkahan? Salam, AIM@otw_mencari tambahan dana pembangunan pondok