SENANG BERTEMU PARA SANTRI
Pagi sekali saat saya keluar kamar, ternyata sudah ada 5 orang santri Ma'had Ali Salafiyah Syafiiyah Sukorejo. Saya adalah alumni pondok besar ini, tapi tidak di Ma'had Alinya karena saya hanya mondok sebentar saja dan penguasaan baca kitab saya tidak bagus. Katanya, syarat masuk Ma'had Ali itu harus bisa membaca kitab kuning dengan lancar. Lima santri ini tentu baca kitabnya jago karena sudah di Ma'had Ali. Semoga ilmunya penuh berkah.
Saya senang bertemu dengan para santri ini, berbincang tentang pondok pesantren jaman dahulu dan jaman kini, berbicara tentang para tokoh dan para wali, berbicara tentang beberapa buku dan kitab. Tak lupa juga berbicara tentang bagaimana mengamalkan ilmu di tengah masyarakat. Saya sampaikan bahwa ukuran keilmuan seseorang bukanlah pada gelar yang disandangnya, melainkan pada manfaat yang ditebarkannya.
Santri itu bukan status pekerjaan seperti pengusaha, pns, swasta atau lainnya. Santri adalah lebih pada karakter hati yang memiliki kecenderungan selalu menghubungkan sikap dan pengalaman hidupnya dengan agama, dengan akhirat. Dalam kajian sosiologi agama, kata santri sering dilawankan dengan kata abangan. Secara sederhana, abangan didefinisikan sebagai orang yang tidak begitu mengenal atau mempedulikan agama. Walau di KTPnya tertulis Islam, namun kehidupan kesehariannya tidak diikat sama sekali dengan ajaran Islam. Tapi saya tidak menyatakan tidak islami. Ini soal yang lain.
Santri, dalam pemahaman kami, adalah orang yang selalu merujukkan sikap dan tutur kata serta pilihan gaya hidupnya pada apa yang menjadi pegangan serta ajaran pokok pesantren. Kitab-kitab mu'tabarah yang dikaji di pesantren menjadi rujukan utamanya. Lho, kok tidak al-Qur'an dan Hadits? Kitab-kitab itu menjelaskan makna dan maksud al-Qur'an dan Hadits dengan metodologi yang benar. Biasanya, orang yang tidak pernah belajar kitab memiliki kecenderungan main tafsir sendiri akan al-Qur'an dan hadits. Lalu lahirlah debat, pertengkaran dan saling tuduh.
Mari kita bersemangat menjadi santri, membaca banyak kitab dan meneladani akhlak para pengarang kitab itu. Jangan pernah merasa sudah alim, karena ilmu tidak pernah mengabarkan batas akhir atau batas tertingginya. Teruslah mengaji dan mengaji, semoga ilmu bermanfaat. Salam, AIM, Pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya