SERINGKALI KITA KECEWA KARENA GAGAL MERASIONALISASI TAKDIR
Sejak kedatangan saya di bandara Ngurah Rai kemaren sampai kepulangan saya dari bandara tersebut untuk menuju ke Surabaya, bantak sekali keluhan terdengar dan gelengan kepala terlihat. Wajah sedih, kecewa penuh tanya tampak menjadi pemandangan lazim. Semua adalah akibat dari genung Agung yang menampakkan aktifitas letusannya. Sudah sekitar 3 bulanan para penduduk dan mengguna Bali tak merasakan dimensi dewata dari Bali.
Para supir taksi yang biasanya diserbu penaumpang pesawat pengunjung Bali berjejejer berebut penumpang dengan sapaan putus asa: "taksi murah, Bapak." Para penjual souvenir dan jajanan terlihat duduk kecewa menunggu konsumen yang banyak enggan menoleh. Jalanan yang biasanya ramai dengan touris sangat lengang seakan tertidur lelap.
Sesampainya di acara pengajian, para jamaah yang kebanyakan adalah pedagang berkeluh kesah karena hilangnya mata pencahariannya selama 3 bulan ini. 95%penghasilan rutin hilang, hidup sungguh mengantarkan pada galau dan putus asa. Pekerja di hotel terpaksa hanya bekerta 15 hari dalam sebulan karena turis pengguna hotel berkurang sekitar 80%. Salah seorang jamaah yang menyewa toko 350 juta setahun juga terpaksa tutup karena tak ada pemasukan harian seperti biasanya.
Lalu, mereka bertanya: apa maunya Allah dengan meletusnya gunung Agung ini? Kalau semuanya pasti ada hikmah, mengapa yang dirsa kini adalah musibah? Seorang jamaah lain yang sedang membangun rumah hanya bisa grleng kepala saat harga pasir naik 3x lipat. Lantas, dimana letak hikmahnya?
Semalam, tema kajian ceramah saya berkenaan dengan realitas ini. Maaf diputus dulu. Pesawat mau berangkat