ISLAM RAMAH, ISLAM BERAKHLAQUL KARIMAH
Betapa banyak pertanyaan jamaah dalam minggu terakhir ini tentang Islam Radikal, Islam garis keras, atau bahkan Islam teroris. Saya tak marah dan tak tersinggung pertanyaan ini karena pada faktanya berita dan sebaran dakwah di media sosial tentang Islam didominasi atau bahkan dimonopoli oleh mereka yang biasa menyuarakan klaim kebenaran tunggal, mengajak berdebat dan bertengkar lengkap dengan permulaannya berupa caci maki dan penyesatan satu pihak pada pihak lain.
Masalah ini menjadi kronis dan berpotensi mengantarkan pada konflik yang tragis antar ummat karena satu fakta besar berupa tidak sempurnanya pengetahuan keislaman umat Islam di Indonesia. Banyak yang belajar Islam secara instan yang hanya bermodalkan emosi dan semangat minus metode dan metodologi yang benar. Doktrin yang dilabeli kata "islam" atau "syari'ah" laris manis tanpa adanya pengetahuan yang utuh bagaimana dan mengapa doktrin atau fatwa itu muncul.
Masalah ini lebih membesar lagi karena ada muatan politik yang menunggangi kelompok ideologis agama itu. Tak lagi murni pandangan Islam yang didasarkan pada obyektifitas metodologis, melainkan didasarkan pada nafsu politik golongan. Memang kemudian muncul pertanyaan "apakah Islam dan politik harus dipisahkan?" Jelas bukan itu maksud saya. Namun, sungguh membutuhkan kuliah beberapa semester untuk paham Islam politik dan politik Islam. Sayangnya, banyak yang tak pernah mengaji dan tak pernah kuliah Islam tiba berkomentar dan berfatwa, terutama di dunia maya yang kebanyakan copy paste.
Ada kecenderungan bahwa mereka yang belajar Islam secara instan cenderung keras (bukan tegas), merasa benar sendiri dan suka ngotot serta memaksakan diri. Sementara mereka yang belajar Islam secara tekun dari dasar sampai pada cabang dengan terinci lengkap dengan komparasi pendapat ulama cenderung lebih ramah, lebih santun, lebih toleran akan perbedaan pendapat dan lebih berakhlaqul karimah.
Dalam paparan sejarah Islam, memang ada p