Pencerah Hati

Menikah Atas Dasar Cinta Pasti Bahagia? - 02 April 2017 11:00

  • Minggu, 02 April 2017 11:00:00
  • Ahmad Imam Mawardi

Menikah Atas Dasar Cinta Pasti Bahagia?

Pertanyaan di atas penting sekali dibahas dengan detail karena faktanya banyak yang lama sekali pacaran lalu kawin kemudian cerai. Banyak pula yang tàk bermula dari cinta lalu menikah dan temukan bahagia. Adakah yang salah dalam memaknai cinta? Urusan cinta adalah urusan tertua dalam sejarah manusia, akad nikahpun adalah akad atau transaksi pertama dalam sejarah manusia. Namun tak banyak yang tahu bahwa cinta punya berbagai jenis dan bahwa cinta sejati memiliki syarat dan rukun yang wàjib dipenuhi.

Ada sebuah kasus cinta yang unik dan menarik dijadikan pembuka diskusi cinta ini, yakni suami isteri yang menikah bukan karena cinta, melainkan karena taat kepada kedua orang tuanya masing-masing. Aslinya, sepasang suami isteri ini sudah punya janji cinta dengan orang lain, namun masing-masing tak direstui oleh kedua orang tuanya. Pernikahannya sungguh hanya karena taat pada kedua orang tuanya, tak hendak menyakiti hati mereka.

Karena tak cinta, kedua orang suami isteri ini mengadakan perjanjian sebelum akad dilaksanakan bahwa keduanya tak akan melakukan apa yang lumrahnya dilakukan oleh sepasang suami isteri kecuali tinggal satu rumah, makan dan jalan keluar bersama-sama demi membahagiakan orang tuanya. Orang tuanya selalu bertanya kapan kira-kira akan menimang cucu. Dijawabnya bahwa belum ada tanda-tanda. Jelas saja, bagaimana mungkin ada tanda-tanda hamil, sementara nikahnya hanya urusan tanda tangan saja, tak lebih dari itu.

Kedua orang tua pasangan ini akhirnya meninggal. Pernikahan 15 tahun itupun kandas, sang suami tetap jejaka secara de facto sebagaimana si isteri itu masih perawan. Lalu menikahlah mantan suaminya itu dengan wanita pilihannya begitupun sang mantan isteri menikah dengan lelaki pujaannya. Ternyata, pernikahan yang diatasnamakan cinta itu tak mengantarkan pada bahagia. Tak butuh waktu lama untuk cerai berai dan talakpun terjadi setelah pernikahan itu berjalan dua tahun.

Anak pertama saya, Nur Dini Abadiah yang sedang menempuh S2 dan Profesi Psikolog, menyatakan bahwa cinta yang utuh itu harus memenuhi tiga komponen: kognitif berupa commitment, emosional berupa intimacy , motivasional berupa passion. Perkawinan yang pertama dari suami isteri itu hanya punya kognitif atau komitmen saja tanpa yang lain. Ini disebut dengan empty love atau cinta yang kosong makna.

Lantas mengapa perkawinan atas nama cinta dengan kekasihnya masing-masing kok juga gagal? Rupanya, cintanya hanya cinta nafsu, cinta emosional, yang tak memiliki komitmen dan motivasi sejati. Lalu, kedua orang ini saling curhat akan kegagalannya. Sama-sama menyesal dan merasa senasib. Lalu keduanya bersatu dan menikah kembali. Saat ini sudah memiliki 4 anak. Kok cepat? Iya, dua kali melahirkan kembar dua. Mengapa kok mereka akhirnya temukan bahagia? Ikuti kisah selanjutnya dengan penuh kesabaran. Salam, AIM