PEMBINGUNGAN DAN KEBINGUNGAN MENJADI "PANDEMI BARU"
Ada seorang guru yang menyatakan kebingungan dirinya dan masyarakat setelah mendengarkan ceramah di youtube yang mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan yang diyakini masyarakat banyak. Menyalah-nyalahkan tradisi yang ada, menyesat-nyesatkan para kiai dan sebagainya. Saya diminta membuat jawaban yang divideokan juga untuk disebarkan.
Saya hanya menjawab agar supaya semakin rajin mengaji kepada orang yang benar-benar alim, memiliki otoritas keilmuan yang diakui dan memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Berbeda pendapat adalah biasa jika yang berbicara adalah orang yang benar-benar berilmu. Berbeda pendapat menjadi bermasalah jika yang menyampaikan adalah orang yang tak benar paham urusan namun bersemangat lebih untuk menjadi "pahlawan." Kebodohannya dipertontonkan kepada publik dalam kemasan "keberanian dan kecerdasan." Waspadalah.
Lalu, di bidang kedokteran juga ramai perdebatan dan silang pendapat saling bantah dan bantai antar dokter dan praktisi pengobatan. Ada yang berdebat tentang penggunaan ivermectin untuk covid, ada tentang jamu herbal dan probiotik, juga tentang masker dan vaksin. Mereka berbeda pendapat dan bahkan ada yang saling serang. Ada pabrik obat yang berseteru dengan pabrik obat lainnya demi menguasai satu obat tertentu. Masyarakat menjadi bingung, terutama para pembaca setia medsos. Mau mengikuti yang mana?
Siapa yang membingungkan mereka dan mengapa mereka bingung serta apa jalan keluarnya? Butuh tulisan panjang untuk jawaban yang sempurna. Saya bukan orang yang tepat menjawab semua itu. Ijinkan sayaenyampaikan unek-unek atau pemikiran kecil saya demi keluar dari kebingungan ini.
Berikut saran-saran saya: pertama, hendaknya yang tidak memiliki kualifikasi, keahlian, atau otoritas, janganlah senang berbicara menyampaikan saran. Itu adalah "noise" atau suara berisik yang mengganggu kedamaian pikiran masyarakat. Yang bukan ahlinya cukup menjadi pendengar saja. Tak usah ikut-ikutan tampil menjadi penceramah atau juru bicara. Dalam konteks agama, kalau baca al-Qur'an dan hadits saja tidak bisa, janganlah berani-berani menjadi tukang pemberi fatwa. Sadar diri akan kualitas diri. Podium atau mimbar khutbah adalah untuk para ahli, bukan untuk para badut dan pembual.
Kedua adalah bahwa kita masyarakat awam jangan mudah percaya akan setiap apa yang didengar dan dibaca, apalagi di youtube dan media sosial. Teliti dulu siapa yang menyampailannya, apa keahliannya, berguru kepada siapa, pendidikannya apa dan bagaimana sikap serta pekerjaannya selama ini. Saat ini terlalu banyak orang yang mencari panggung demi mendapatkan pengikut atau uang, tak peduli salah dan benar, buruk dan baik. Semakin waspadalah.
Nah, cukup dua saja dulu sarannya. Mari kita saling mengingatkan untuk istiqamah dalam kebenaran dan kebaikan. Yakinkan diri kita untuk selalu bersama dengan orang-orang yang baik dan benar, mendengar dan belajar hidup dari mereka. Salam, AIM