Terjadi sedikit keributan di lapak jual beli ayam pasar Wonokromo Surabaya pagi ini. Masalahnya sepele, yakni tentang harga ayam. Seorang ibu yang jago betul dalam tawar-menawar tetap tak mau membeli ayam yang harganya oleh penjual ditetapkan 60 ribu perekor. Ibu itu tetap ngotot bahwa menurut koran yang dibacanya harga ayam mengalami penurunan mengikuti penurunan harga bbm. Karena itu si ibu menawar ayam itu 45 ribu perekor.
Pedagang ayam itu menutup tawar-menawar itu dengan ucapannya: "Beli saja di orang yang nulis di koran itu Bu. Ibu tahu, kemucing itu hanya bulu ayam saja tanpa daging, jeroan dan tulangnya, harganya sudah 30 ribu, tidak masuk akal kalau daging dan jeroannya hanya dihargai 15 ribu." Ibu itu akhirnya pergi juga dengan cemberut sambil menggerutu: "Kemucing itu gak pakek tahi, ayammu masih ada tahinya."
Ada banyak pelajaran kecil yang bisa kita dapatkan dari peristiwa kecil di atas: pertama, benturan kepentingan sekecil apapun akan menyisakan ketidaknyamanan hati jika tidak disikapi dengan pemakluman dan kedewasaan mental. Benturan kepentingan bisa jadi karena ketidaksesuaian antara kabar dan kenyataan atau antara harapan dan fakta lapangan. Berbagai argumen bisa dibuat demi untuk menguatkan posisi kepentingan dirinya. Belajarlah untuk lebih obyektif dan lebih dewasa menyikapi persoalan.
Pelajaran kedua, kemucing telah mengangkat bulu ayam yang seringkali dianggap tak memilki harga menjadi sangat mahal harganya dengan sentuhan "inovasi dan kreatifitas." Inovasi dan kreatifitas itulah yang menaikkan harga. Bahan dasar boleh sama, barang dagangan boleh sama, namun cara pengolahan dan penyajian yang berbeda akan menjadikan harganya berbeda. Inovatiflah dan kreatiflah, maka Anda akan lebih mahal dan berharga. "Untuk menjadi yang tak tergantikan, jadilah sesuatu yang berbeda," demikian kata para ahli pemasaran.
Ada banyak pelajaran lainnya. Bisa dilanjutkan sendiri, karena saya harus menyampaikan pelajaran di kampus UINSA Surabaya tercinta. Salam,