Memperbaiki keadaan yang rusak termasuk bagian dari pelaksanaan perintah al-amr bi al-ma'ruf wa al-nahy 'an al-munkar (biasa diindonesiakan menjadi amar makruf nahi mungkar). Semua sepakat bahwa ini adalah bagian syari'at yang harus dijalankan secara syar'i (sesuai dengan prinsip-prinsip syari'ah) seperti prinsip keadilan dan kasih sayang.
Sepanjang kita belajar tentang maqashid al-syari'ah (tujuan syari'at), kita akan bertemu dengan tujuan dasar dari syari'at adalah untuk menegakkan dan memelihara kemaslahatan. Tujuan yang baik ini tidak boleh diupayakan tercapai kecuali dengan cara-cara yang baik. Kemashlahatan tak boleh dibangun di atas kemafsadatan.
Lalu bagaimanakah cara yang tepat jika kita berkehendak memperbaiki keadaan yang rusak? Saya setuju dengan pendapat Syekh Abdullah bin Bayyah, guru maqashid saya, ketika beliau berkata bahwa ada tiga cara yang harus dilakukan dalam memperbaiki keadaan yang rusak itu dan ketiga-tiganya merupakan tahapan yang saling berkaitan.
Kietiga hal tersebut adalah: pertama, tanyakanlah kepada ulama, orang yang paham betul syari'ah dengan segala ilmu pendukungnya, tentang status hukum berkaitan dengan hal yang akan diubah itu; kedua, ketika terjadi perselisihan atau konflik, biarkanlah aparat dan lembaga hukum yang memutuskan kepastian hukumnya; dan ketiga adalah bahwa pelaksana putusan pengadilan itu adalah lembaga atau petugas yang berwenang menurut hukum yang berlaku.
Jangan biarkan setiap orang memberikan fatwa. Orang-orang yang hanya tahu bungkus atau kulit agama harus tahu diri dan tahu posisi. Jangan biarkan semua orang mengangkat diri jadai hakim atau qadi. Hakim resmi itu diangkat oleh pemerintah yang sah. Jangan biarkan semua orang berhak mengeksekusi putusan, negara ini punya aturan yang telah paten. Salam, AIM, Dosen UINSA Surabaya