Retradisionalisme: Bangkitnya Warisan Lama
Retradisionalisme secara harfiyah bermakna paham kembali pada tradisional. Di tengah gemuruhnya modernisme dengan segala ajaran, prinsip dan gayanya rupanya ada kerinduan untuk kembali pada sesuatu yang dilabeli klasik, kebiasaan lama, atau peninggalan kuno. Apa itu salah?
Tiga hari yang lalu, ketika saya di atas pesawat, saya membaca majalah travel yang mengulas bangkit suburnya wisata daerah dengan potensi alam yang alami dan tradisional. Di majalah yang sama dijelaskan juga menjamurnya spa lokal etnik yang menerapkan gaya massage dan ramuan kecantikan ala desa, salah satunya adalah spa so-osso khas Madura. Saya tersenyum membaca majalah itu karena saya paham betul apa itu so-osso yang makna dasarnya adalah bermakna pembersihan tuntas.
Malam ini saya menikmati pijat refleksiologi khas Madura. Tradisional sekali, dari gaya pijat, penjelasan dan suguhannya yang dikenal dengan istilah ka'-angka'. Pemijatan dimulai jam 21.00 WIB dan berakhir tepat jam 00.30 WIB. Mantap sekali pijatannya, terlebih saat disertai penyampaian petuah orang tua kuno tentang hubungan penyakit dan urat-urat saraf. Menarik sekali.
Sesekali sang pemijat menyampaikan petuah lama. Salah satunya adalah "rèng ngoso' kala ka rèng mèsem" (Orang marah kalah pada orang senyum). Saya senang sekali mendapatkan pencerahan sambil dipijat. Seakan nenek moyang hadir bersama kami di langgar panggung tradisional tempat saya dipijat.
Damai sekali di desa tempat saya dipijat ini. Sesekali suara perkutut menghibur, suara kucing bertengkarpun melengkapi nuansa tradisional itu. Kripik sukun dan jagung sangrai menjadi camilan yang meramaikan suasana. Ternyata, bahagia tak perlu mahal, tak perlu modern, dan bisa digapai dengan cara yang sederhana. Salam, AIM