Hari Sabtu kemaren, tanggal 2 Januari, saya bertuga khutbah nikah di masjid Agung Al-Akbar Surabaya, atas undangan Ibu Choirun Nawalah yang menikahkan puterinya dengan lelaki pujaannya. Acaranya berlangsung khidmat, didahului oleh protokoler Masjid agung yang menurut saya terlalu diketatkan karena kiai-kiai dan para sesepuh diperintahkan baris berbaris menuju tempat akad dilaksanakan. Menurut saya, ke depan tidak usah terlalu formal, apalagi kiai-kiai tak biasa ikut baris berbaris.
Ketika akad dilangsungkan saya perhatikan peristiwa detik perdetik. Pak Jamal, sang wali nikah, mengucapkan kalimat ijabnya dengan 7 kali helaan nafas, sementara sang penganten pria menyampaikan kalimat qabulnya hanya dalam satu nafas saja. Seakan penganten pria mengatakan kepada hadirin bahwa dengan akad ini, pasangan baru itu siap untuk berada dalam satu nafas kebersamaan. Serius dan lancar.
Hari ini, saya bertugas khutbah nikah di rumah Ibu Lusi, pemilik restoran Rawon Setan yang terkenal itu. Saya perhatikan nanti berapa kali sang penganten pria tarik nafas ketika akad. Harapan saya, penganten pria tak akan sesak nafas ketika akad sebagaimana kejadian dalam akad nikah di suatu tempat dulu. Saat mau ucap "saya terima nikahnya," sang penganten hanya ucap kata "saya" diulang sambil tersengal-sengal.
Ternyata akad nikah tidak selalu mudah. Dicarilah sebab mengapa sesak nafas. Ternyata sang penganten alergi asap rokok yang mengepul hebat dari lipatan bibir pak penghulunya. Dari kejadian itu saya usul agar di lokasi akad atau lokasi orang harus bicara khidmat hendaklah tak ada lagi asap rokok. Ketika saya ceramah hari selasa kemaren, terpaksa saya mundur jauh dari orang sebelah saya hanya karena 4 kali nafas saya terganggu dengan asap rokoknya. Ceramah sama dengan akad nikah, dalam konteks butuh suasana segar untuk menjadi lancar. Maaf ya para perokok. Salam, AIM@lokasi akad nikah