Manusia itu tak bisa menghentikan laju usia. Semakin lama pasti semakin tua bak matahari yang berawal dari terbit untuk kemudian siang dan sore untuk tenggelam di fuk barat. Menua selalu bermakna melemah, walau yang selalu identik dengan selalu sakit. Itulah pelajaran yang saya dapatkan liburan kemaren ketika mengunjungi mertua yang sudah berusia 72 tahun.
Bapak mertua saya bukan seorang polisi atau tentara, profesi yang identik dengan kegagahan. Namun masa mudanya adalah pemuda yang gagah dan ganteng dengan profesi sebagai pendidik, aktivis Maarif NU dan pengasuh santri. Tubuhnya kini mengurus dan gerakannya tak segesit dulu. Yang tetap adalah semangatnya, senyumnya, dan kesabarannya mengajarkan alif ba dan tak nya kehidupan. Memandang wajah beliau, hati ini berdoa: "Semoga saya panjang umur dan istiqamah seperti beliau."
Lain lagi pelajaran yang saya dapatkan dari umi saya ketika menemani saya makan pagi. Saya tanyakan ke beliau tentang apa saja yang biasa umi beli sebagai favorite beliau. Jawabannya: "Orang yang sudah tua dan sakit seperti saya ini nak, belanjaan utamanya adalah minyak. Ada minyak kayu putih, minyak telon, minyak zaitun dan minyak tolak angin. Beda dengan anak yang masih muda yang belanjaannya minyak wangi, bedak dan sebangsanya." Yang saya sukai dari beliau juga senyumnya ketika saya ajak guyon mengenang masa kecil saya dulu.
Sahabat dan saudaraku, coba pejamkan mata sejenak untuk mengingat masa lalu kita, masa kecil kita, ketika bapak ibu kita dengan sepenuh hati membesarkan, mendidik dan melindungi kita, berupaya menyenangkan dan menenangkan kita. Lalu bukalah mata kita sambil bertanya pada diri kita: "Apa yang telah saya perbuat untuk menyenangkan dan menenangkan orang tua kita?"
Membahagiakan orang tua adalah amalan ahli surga, amalan orang-orang sukses. Sementara mengecewakan dan menyakiti orang tua adalah amalan ahli neraka, amalan orang-orang gagal. Semoga kita semua menjadi orang sukses bahagia dan ahli surga. Salam, AIM, Pengasuh ponpes kota Alif Laam Miim Surabaya