Salah seorang teman saya yang bernama Abdullah Kanji mendefinikan pernikahan sebagai "masuknya seseorang dalam kehidupanmu yang membuat dirimu lupa akan masalah masa lalumu namun kemudian membuat masalah baru agi dirimu." Tidak usah bingung dengan definisi ini, dan yakinlah bahwa definisi ini bukanlah definisi kamus apalagi definisi yang disepakati oleh para ulama.
Definisi di atas adalah definisi nikah yang didasarkan pada emosi diri, pengalaman pribadi, yang mengangankan masalah akan selesai dengan menikah. Pembuat definisi rupanya lupa bahwa mau nikah saja sudah banyak masalah betapapun persiapan nikah sudah matang. Seorang pemuda dengan nada ngenes alias melankolis berkata: "Saya sesungguhnya sudah siap menikah, rumah sudah ada, mobil sudah ada, pekerjaan sudah ada, dan biaya nikah pun sudah ada. Masalahnya hanya satu, yaitu calonnya belum ada."
Itu baru mau nikahnya. Setelah nikah pasti ada masalah baru yang mungkin dialami setiap pasangan. Salah satu masalah yang lumayan jamak adalah konflik menantu dan mertua sampai-sampai ada kata: "pasangan paling bahagia adalan Nabi adam dan Hawa karena kedua-duanya tidak memiiki mertua." Membayangkan hidup tak ada masalah berarti juga membayangkan hidup tanpa jawaban, sementara jawaban akan masalah adalah salah satu cara Allah mendewasakan dan mencerdaskan kita.
Kalau begitu, tak apa jika setiap saat muncul masalah-masalah baru yang penting jawabannya tersedia. Lebih penting lagi adalah bahwa masalah itu bukan "sayaotw melawan kamu" melainkan "saya dan kamu bersama-sama melawan masalah. Itulah salah satu tips manajemen konflik yang perlu diterapkan dalam mengatasi masalah keluarga.
Menikah tak selalu menjadi urusan mudah. Membangun rumah tangga tak segampang membangun rumah bertangga. Ia membutuhkan ilmu dan keahlian. Tentang ini, team Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya telah menyiapkan forum dan para ahlinya. Salam, AIM@otw_tiga lokasi_Land Thank, Great Garden & Twin Montains