Setibanya di rumah dari tour panjang surabaya-sumenep- kawah ijen bondowoso-jember lumajang 4 hari berturut-turut ternyata terasa pula lelahnya. Seluruh badan meminta haknya untuk ditenangkan, direlakskan. Dua kaki tiba-tiba kram, pinggangpun tak merasa nyamannya kasur, sementara mata tak bisa nyenyak senyenyak tukang becak yang tertidur di atas becaknya malam hari setelah seharian bekerja.
Ternyata, terlalu lama di dalam mobil, seenak apapun mobilnya, tetap saja tak senyaman duduk diam dalam rumah. Terlintas kekaguman pada mereka yang berprofesi sebagai supir yang tiap hati harus keliling. Namun dipikir-pikir supir ketika istirahat walau sejenak memang betul-betul istirahat, sementara saya harus istirahat. Ah, tak perlu membandingkan tugas dan pekerjaan ya. Yang jelas, setiap kita punya tugas yang mungkin berbeda.
Setiba di rumah, anak istri semuanya terlibat dalam tugas baru sebagai tukang pijat. Belum merasa nyaman, ada yang bertugas merendam kaki dengan air panas plus garam. Belum juga merasa nyaman, mandi air hangat dan kemudian minta dikerok paket komplit. Ternyata saya memang betul-betul anak desa walau sekarang tinggal di kota. Otak bawah sadar yang menyimpan petuah orang tua di desa dulu memunculkan fatwa: kerokan, anginpun kan keluar dari tubuhmu.
Saat ini sedang dikeroki istri sambil disediakan teh mint bawaan dari saudi. Sepertinya badan mulai merelaks, walau harus rela berbelang-belang merah. Terima kasih isteriku, terima kasih anak-anakku. Ini adalah satu hikmah saya memilikimu. Semoga apa yang kita lakukan memiliki makna bukan hanya di dunia ini melainkan di akhirat kelak.
Sahabat dan saudaraku. Tulisan ini bukan keluhan, melainkan berbagi kisah keluarga yang semoga bermanfaat minimun sebagai informasi bahwa kekompakan keluarga itu sungguh membahagiakan dan menggembirakan. Salam, AIM@home