Senang sekali perasaan ini setelah selesai presentasi penelitian perspektif komunitas pesantren di Madura tentang usia nikah, makna dan jumlah ideal anak, dan program BKKBN. Peserta yang merupakan kepala BKKBN kabupaten/kota se-Jawa Timur mengapresiasi penelitian ini dan bermaksud mengadakan penelitian yang sama di wilayahnya masing-masig.
Penelitian kami adalah di empat kabupaten di pulau Madura. Di masing-masing kabupaten kami meneliti dua pesantren besar, satu pesantren kota yang memiliki akses informasi dengan mudah dengan sistem pendidikan modern dan satu lagi pesantren desa yang yang tetap istiqamah dengan model pendidikan tradisionalis.
Hasil penelitian cukup mengejutkan karena menunjukkan hasil yang berbeda dengan yang digelarkan ke masyarakat Madura sebagai pulau dengan jumlah pernikahan dini sangat tinggi dan jumlah keluarga extended family (keluarga besar dengan jumlah anak banyak) yang sangat banyak.
Ternyata, pernikahan usia dini tak seperti yang diduga alias sangat sedeikit terjadi. Kebanyakan santri dan pemuda Madura kini memilih nikah di usia 17-25 tahun. Tentang jumlah anak, para orang tua terutama kiai atau tokoh masyarakat memang menghendaki 7 anak atau lebih, namun para santri menganggap yang ideal adalah 3-4 anak saja. Diskusipun memanjang jika dibahas tuntas sampai pada alasan sesungguhnya shifting paradigm ini.
Tapi ada yang lucu. Salah seorang santri salaf ditanya peneliti tentang dari mana dia tahu tentang KB. Jawabannya mengejutkan dan membuat bingung, "dari genting, pak." Peneliti bertanya apa yang dimaksudnya, dia pun menjawab: "saya baca tulisan KB di genting rumah warga." Di Madura, banyak sekali rumah yang gentingnya ditulisi KB atau PKK. Begitulah salah satu bukti nasionalisme Madura. Salam, AIM, Dosen UINSA Surabaya.