Tulisan ini adalah versi panjang sms saya menjawab kegalauan seseorang yang tadi siang mengirim sms mengeluhkan temannya yang berbalikrasa memusuhi dirinya di tengah keterpurukan nasib dia sendiri. Berikut jawaban saya:
Kebahagiaan belum layak disebut kebahagaiaan kecuali ada orang lain yang ikut serta menikmati kebahagiaan itu. Derita pun tak layak disebut derita kecuali derita itu hanya dipikul oleh satu orang saja. Bersyukurlah jika kita bisa berbagi kebahagiaan dengan orang lain sebagaimana kita juga harus bersyukur ketika ada orang yang mau bersama kita dalam menanggung derita.
Orang yang selalu ada di samping kita ketika kita berada dalam keadaan sulit adalah sahabat terbaik kita yang tak akan pernah hilang dalam ingatan apapun kisah hidup selanjutnya terjadi. Walau tak perlu kita ingat-ingat, ternyata orang yang sering lari dari samping kita ketika kita sedang menderita ternyata adalah orang yang juga selalu hadir dalam ingatan kita, sehingga sering menyebabkan kejengkelan berlanjut. Memang ada tipe orang yang "bergabung ketika banyak ikan, berpisah ketika telah hanya tinggal tulang-tulangnya."
Bagaimana cara menghadapi orang-orang yang hanya mencari enaknya dalam membangun relasi dan tak mau berbagi jika ada resiko? Tentu banyak pilihan sikap untuk hal ini dan sangat bergantung pada konteks dan nuansa psikologisnya secara utuh. Ada yang menyarankan supaya hubungan seperti itu "diliburkan" dulu dengan harapan adanya pelajaran baru dari "liburan" itu.
Joubert Botha berkata: "Some people won't notice the things you do for them until you stop doing them." (beberapa orang tak akan perhatian pada banyak hal yang Anda lakukan untuk mereka sampai Anda sendiri berhenti melakukan hal itu untuk mereka). Nilai sesuatu memang kadang baru terasa setelah sesuatu itu lepas dan hilang. Orang cerdas adalah orang mau menghargai sesuatu sebelum sesuatu itu hilang dan lenyap. Salam, AIM@home