Pencerah Hati

SAAT PASAR RAMAI SEKALI DAN MAJELIS PENDIDIKAN KEAGAMAAN DIBIARKAN SEPI - 21 Februari 2021 15:13

  • Minggu, 21 Februari 2021 15:13:35
  • Ahmad Imam Mawardi

SAAT PASAR RAMAI SEKALI DAN MAJELIS PENDIDIKAN KEAGAMAAN DIBIARKAN SEPI

Pagi tadi saat menuju Ponpes Miftahul Ulum Pemekasan, kami melewati pasar Pamekasan kota. Para penjual burung dan pembelinya berkerumun, lengkap dengan hisapan rokok yang mengepulkan asap. Tak ada yang bermasker, karena bermasker sambil merokok merupakan sebuah keajaiban alam. Pedagang kambing, ayam dan itikpun berkerumun tanpa jarak, seperti normalnya pasar saat tak musim pandemi. Jalan sangat macet, google map menandai dengan warna merah.

Barusan saya melewati pasar Lenteng, pasar kecamatan saya. Saya harus melewati pasar ini menuju kampung halaman saya. Hari Ahad adalah hari pasaran di kecamatan ini. Sore hari, tepat di sebelah utara kantor polisi, pedagang sapi dari berbagai kecamatan berkumpul mengadu peruntungan dunianya. Bukan hanya sapinya yang ramai, pedagang, pembeli dan makelarnya berkerumun dengan pakaian dan gayanya yang khas. Masker pun tak kelihatan dipakai oleh mereka. Mobil pick up berderet sepanjang pinggir sungai, menyulitkan akses masyarakat umum yang ingin melewati jalan ini. Tak ada teguran dari polisi atau aparat lainnya. Mungkin karena kasus covid relatif tak marak di sini, dan mungkin juga karena masyarakat sekitar masih terus menyembunyikan kekesalannya.

Pertokoan dan aktifitas lainnya juga biasa-biasa saja. Ramai, akrab, berkerumun Apalagi yang bekerja ke sawah bersahabat dengan matahari yang menyuplai vitamin D dengan gratis setiap hari. Lalu lalang di jalan dan ke tempat wisata juga masih berjalab normal. Mungkin ini cara Allah supaya ekonomi masyarakat desa yang sudah melarat tidak semakin melarat.

Menariknya, pengajian masih dibatasi. Apalagi pengajian Tambana Até malam Jim'at legi di pondok kami yang sampai kini tidak boleh diadakan dulu. Sekolah juga masih terbatas dan belajarnya diminta dari rumah saja. Sementara fasilutas internet dan dana kuota sangat minim bahkan banyak yang tak punya. Pertanyaan yang menggelisahkan adalah bagaimana cara menjaga akal dan hati supaya tetap sehat, bagaimana menata hati agar tetap iman dan penuh syukur, sementara warung rohani dan apotik hati bernama madrasah, sekolah dan pengajian masih belum bisa difungsikan? Ini bukan keluhan, namun bahan renungan untuk mencari solusi. Tadi ada yang usul agar pengajian dipindah ke pasar saja, karena bisa dibuka dan digunakan berkumpul terus menerus. Ada usul lain? Salam, AIM